KECERIAAN DI PESANTREN

Sumber gambar : https://id.pinterest.com/
Di sebuah pesantren yang terletak di pinggiran kota, kehidupan sehari-hari dipenuhi dengan aktivitas belajar, mengaji, dan berinteraksi antar santri. Di antara sekian banyak santri, ada dua sahabat karib, Soni dan Farehal, yang dikenal dengan tingkah laku mereka yang lucu dan konyol. Keduanya memiliki cara unik dalam menghadapi berbagai tantangan di Pesantren, dan selalu berusaha membuat satu sama lain tertawa, meski dalam situasi yang sulit sekalipun.
Suatu hari, setelah selesai shalat subuh, Soni dan Farehal duduk-duduk di teras masjid, menikmati udara pagi yang sejuk. Mereka membahas tentang pelajaran tafsir yang akan diujikan pada hari itu. “Rehal, aku benar-benar khawatir tentang ujian tafsir hari ini,” kata Soni dengan wajah serius.
Farehal menatap Soni dengan penuh percaya diri. “Tenang saja, Soni! Ingat, kita sudah belajar bersama. Yang penting adalah kita berusaha maksimal dan berdoa.” Soni menggelengkan kepala. “Iya, tapi aku masih ingat betapa sulitnya pertanyaan pertanyaan ustadz minggu lalu. Apa kamu siap?”
Farehal tertawa. “Santai saja! Kalau kita menghadapi soal yang sulit, kita tinggal jawab dengan percaya diri. Misalnya, kalau ditanya tentang makna ayat, kita bisa bilang, ‘Ya, begitulah kira-kira!'” Soni tidak bisa menahan tawa. “Kalau begitu, kita bisa jadi ustadz! ‘Begitulah kira-kira’ jawaban yang sangat filosofis!”
Setelah bercanda, mereka bergegas menuju kelas. Di perjalanan, mereka melihat seorang santri lain, Hasan, yang sedang sibuk menghafal ayat-ayat. Soni berinisiatif untuk mengganggu. “Hasan! Apa kamu yakin bisa menghafal semua itu sebelum ujian?” Hasan menoleh dan menjawab dengan serius, “Tentu saja! Aku tidak akan membiarkan ujian mengalahkanku.”
Farehal menyela, “Bagaimana kalau ujian itu yang mengalahkanmu? Siapa yang tahu? Kita harus bersiap-siap untuk segala kemungkinan.” Hasan hanya menggelengkan kepala, meski senyum kecil tak bisa disembunyikan. “Biar saja! Yang penting, aku sudah berusaha.” Setelah sampai di kelas, suasana mulai tegang. Ustadz memasuki ruangan dengan membawa kertas ujian. “Baiklah, anak-anak! Siapkan diri kalian. Ujian tafsir akan segera kita mulai sekarang.”
Soni dan Farehal saling memberikan tatapan penuh semangat. Setelah kertas ujian dibagikan oleh ustadz, mereka mulai menjawab soal-soal yang ada. Soni merasakan ketegangan yang semakin meningkat ketika melihat soal-soal yang dihadapi. Beberapa di antaranya cukup rumit dan memerlukan pemahaman yang mendalam.
Farehal, di sisi lain, terlihat lebih tenang. Dia mengerjakan soal-soal dengan cepat dan percaya diri. Ketika Soni melihat pertanyaan yang sulit, dia mengingat saran Farehal sebelumnya. “Begitulah kira-kira,” pikirnya. Dia mulai menulis jawaban dengan percaya diri, meski kadang merasa ragu. Setelah beberapa waktu berlalu, Soni melihat Farehal menulis jawaban terakhirnya. “Son, kamu sudah selesai?” tanyanya, sedikit cemas.
Farehal mengangguk. “Iya, dan aku rasa aku sudah menjawab semua pertanyaan dengan baik.”
Soni merasa sedikit tertekan. “Sementara aku masih berkutat dengan satu soal yang benar-benar sulit!”
Farehal memberi semangat. “Ingat, Soni! Jangan panik. Cobalah untuk berpikir jernih. Kadang jawaban itu ada di dalam dirimu sendiri.” Soni menarik napas dalam-dalam dan mencoba mengingat kembali pelajaran yang telah mereka bahas. Tiba-tiba, dia teringat sebuah kisah yang diceritakan ustadz tentang pentingnya niat dan usaha. Dengan semangat baru, dia mulai menulis jawabannya, meski tidak yakin apakah itu benar. Setelah ujian selesai, Soni dan Farehal keluar dari kelas dengan perasaan campur aduk. “Gimana, Rehal? Kamu rasa kita sudah menjawab dengan baik?” tanya Soni.
Farehal tersenyum. “Insya Allah. Yang penting kita sudah berusaha. Sekarang, mari kita bersantai sejenak sebelum hasilnya keluar.” Mereka pun memutuskan untuk pergi ke taman pesantren. Di sana, mereka melihat beberapa santri lain yang sedang bermain dan bercanda. Melihat suasana yang ceria itu, Soni dan Farehal ikut bergabung. Soni mulai bercerita tentang betapa tegangnya dia saat ujian, sementara Farehal dengan percaya diri menceritakan strategi jitu yang dia gunakan.
Tiba-tiba, Hasan muncul dan menghampiri mereka. “Kalian sudah selesai? Bagaimana hasilnya?” tanyanya penasaran.
“Masih menunggu, Hasan. Tapi kami yakin bisa!” jawab Farehal.
Hasan mengangkat alisnya. “Aku sih sudah siap dengan segala kemungkinan. Yang penting, kita sudah berusaha, kan?” “Betul! Jika hasilnya tidak sesuai harapan, kita bisa belajar lagi,” kata Soni sambil tersenyum. Saat mereka berbincang, ustadz mendekati mereka dan memberikan senyuman hangat. “Bagaimana, nak? Siap untuk hasil ujian?”
Semua santri hanya bisa tersenyum malu-malu. Ustadz pun melanjutkan, “Ingat, yang terpenting adalah proses belajar. Hasil itu hanya angka. Yang benar-benar berharga adalah usaha dan niat baik kalian.”
Mendengar kata-kata ustadz, hati Soni dan Farehal terasa lebih ringan. Mereka berjanji untuk terus belajar dan tidak pernah berhenti berusaha, apapun hasilnya nanti. Keceriaan dan tawa di pesantren terus berlangsung, mengingatkan mereka bahwa meskipun ujian adalah bagian dari perjalanan, kebersamaan dan semangat adalah kunci utama dalam menghadapi segala tantangan.
Kebersamaan dengan sesama teman merupakan awal seorang membangun komunikasi dan berinteraksi sosial, kelak yang akan menjadi bekal ketika sudah sampai di masyarakat yakni lulus di pesantren dan bergabung dalam sebuah komunitas hidup yang disebut dengan masyarakat. Di pesantren santri dididik secara mandiri, orang tua hanya dapat jenguk atau datang ke pesantren minimal seminggu, sebulan, tiga bulan sekali. Hal ini memberikan pendidikan kepada para santri agar dapat bersikap mandiri, tidak mudah menggantungkan diri kepada orang lain. Di samping itu pendidikan agama menjadi prioritas utama sehingga kelak santri akan tercetak menjadi santri yang mandiri, faham agama dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya di masyarakat untuk menjadi penerang pemahaman agama dalam kehidupan sehari-hari.